Saturday, December 3, 2011

Dalil PHK yang mengada-ada

Apakah dapat dikategorikan ke dalam "pemberian keterangan palsu" bila Pengusaha dalam jawaban gugatannya di PHI mendalilkan alasan PHK adalah "pekerja tidak menjalankan perintah atasannya, Mr. X, lewat email", padahal Mr. X sama sekali bukan atasan pekerja? Terima kasih.

2 comments:

  1. Pertama, perlu diluruskan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tak mengenal ‘tidak menjalankan perintah atasan’ sebagai salah satu alasan PHK. Kewajiban bagi pekerja untuk senantiasa menjalankan perintah atasan lazimnya tertuang dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama.


    Di dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama biasanya juga mengatur sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada pekerja yang tak manut dengan perintah atasan. Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau bahkan pemutusan hubungan kerja.


    Ketika ada pekerja yang dianggap melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama itu, maka Pasal 161 UU Ketenagakerjaan bisa diterapkan.


    Pasal 161 UU Ketenagakerjaan lengkapnya berbunyi:

    (1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

    (2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

    (3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).



    Dari ketentuan di atas terdapat ketentuan bahwa pengusaha dapat memecat pekerjanya yang dianggap telah melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama. Namun kepada pekerja bersangkutan haruslah diberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.


    Kemudian masuk ke pertanyaan Anda.

    Mengacu pada Pasal 57 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), maka hukum acara yang diberlakukan di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain dalam UU PPHI.


    Sementara dalam hukum acara perdata, khususnya mengenai teori pembuktian, kita mengenal asas yang menyatakan, “siapa yang mendalilkan, maka dia yang harus membuktikan.”

    ReplyDelete
  2. Terkait dengan jawaban pengusaha di sidang yang mendalilkan bahwa "pekerja tidak menjalankan perintah atasannya, Mr. X lewat email," maka akan menimbulkan dua konsekuensi:

    1.Pengusaha harus membuktikan kalau pekerja telah membangkang dari perintah atasan. Dihubungkan dengan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan di atas, pengusaha harus menunjukkan adanya surat peringatan tentang adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja.
    2.Pengusaha juga harus membuktikan bahwa Mr. X adalah memang atasan pekerja.

    Kalau Anda menganggap bahwa Mr. X bukan atasan pekerja, Anda juga harus membuktikannya. Mudahnya, bisa lihat bagaimana struktur organisasi (organigram)di perusahaan itu. Apakah Mr. X memang menjabat sebagai atasan pekerja bersangkutan atau bukan. Selain itu, juga dapat dilihat dari fungsi jabatan Mr. X. Ada atau tidak relevansinya dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh si pekerja.


    Terkait dengan Tindak pidana “pemberian keterangan palsu,”, hal itu diatur dalam pasal 242 KUHP. Pasal 242 ayat (1) KUHP menentukan bahwa “Barangsiapa dalam hal-hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”


    Dalam hal ini, apabila Mr. X bukan atasan dari pekerja yang bersangkutan, maka dalil yang dikemukakan Pengusaha tersebut tidak ada dasarnya. Namun demikian, pengusaha yang bersangkutan memberikan keterangan tersebut dalam jawaban atas gugatan, tidak di atas sumpah, sehingga tidak memenuhi unsur tindak pidana pemberian keterangan palsu, yaitu bahwa keterangan harus dilakukan dengan sumpah. Jawaban tersebut tidak diberikan di atas sumpah. Oleh karena itu, menurut hemat kami, pemberian keterangan dalam jawaban tidak dapat dikategorikan dalam “pemberian keterangan palsu” menurut pasal 242 KUHP.


    Keadaan akan berbeda ketika Mr. X dihadirkan sebagai saksi di PHI. Ketika ia sudah disumpah sebagai saksi, maka ia harus mengatakan yang sejujurnya. Jika ia tetap mengaku sebagai atasan pekerja, dan Anda tetap memiliki bukti bahwa ia berbohong, maka di sini Mr. X bisa dikenakan tuduhan Pasal 242 KUHP.


    Sebagai tambahan, karena masih dalam proses jawab-menjawab di persidangan, pekerja punya kesempatan untuk membantah bahwa dalil-dalil yang dikemukan pengusaha adalah tidak benar.


    Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga Bermanfaat.

    Dasar hukum:
    1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    2.Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    ReplyDelete