Saturday, December 3, 2011

Apakah Pesangon Harus Dikurangi Pensiun (DPLK)?

Apakah dalam perhitungan pesangon karena PHK (bukan karena usia pensiun) harus dikurangi dengan perhitungan pensiun/DPLK (asuransi pensiun) yang ada?

1 comment:

  1. Alasan pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja (PHK), dapat dikelompokkan dalam empat macam sebab, yakni :

    a. PHK yang dilakukan atas kehendak (sebab) pengusaha/manajemen perusahaan, seperti PHK karena adanya corporate action, efisiensi atau down-sizing;

    b. PHK karena kehendak pekerja (misalnya resign);

    c. PHK yang terjadi demi hukum, seperti pekerja meninggal dunia, atau pekerja mencapai batas usia pensiun (BUP) sesuai yang diatur/diperjanjikan;

    d. PHK karena putusan pengadilan, seperti PHK karena “kesalahan berat”.


    Berkaitan dengan itu, PHK yang terjadi sebelum batas usia pensiun (BUP), harus dilihat penyebab atau alasannya, apakah atas inisiatif dan kehendak dari pengusaha, atau atas kemauan –- sukarela -- dari pekerjanya sendiri. Karena penyebab dan alasan terjadinya PHK menentukan ada-tidaknya dan/atau besar-kecinya hak/kompensasi akibat PHK dimaksud.


    Artinya, tidak semua hak yang timbul karena PHK (khususnya uanga pesangon dan uang pengharagaan masa kerja) harus dikurangi dan diperhitungkan dengan “manfaat pensiun”, termasuk manfaat pensiun (iuran pasti) pada DPLK (dana pensiun lembaga keuangan), karena ada beberapa alasan PHK dimana pekerja tidak berhak atas “pesangon”.


    Misalnya, pada PHK yang terjadi atas kemauan –- sukarela -- dalam hal pekerja mengundurkan diri (resign), maka berdasarkan pasal 162 ayat (2) UU No.13/2003, pekerja yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon (UP) dan uang penghargaan masa kerja (UPMK), akan tetapi hanya berhak atas uang penggantian hak (UPH) dan uang pisah (jika memenuhi syarat) yang besarnya dan pelaksanaan (pemberian)nya diatur dalam perjanjian kerja (PK) dan/atau peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Itupun jumlahnya biasanya relatif (sangat) kecil dibandingkan dengan “pesangon”.


    Oleh karena itu, dalam hal pekerja resign, karena tidak berhak UP dan UPMK, maka tentunya “pesangon” tidak dapat diperhitungkan dengan manfaat pensiun yang sudah terakumulasi pada account DPLK (masing-masing) pekerja yang bersangkutan. Terlebih, bila jumlah account DPLK –- mungkin -- lebih besar dari perhitungan uang pisah dan hak lainnya (kalau ada). Artinya, jika hak “dana pensiun“ jumlahnya ternyata lebih besar daripada perhitungan hak atas uang pisah, maka akumulasi dana pensiun pada DPLK tentunya sudah sulit untuk ditarik kembali dari account masing-masing pekerja. Kecuali telah diperjanjikan sebelumnya, bahwa apabila pekerja/buruh mengundurkan diri, maka jumlah manfaat pensiun yang sudah terakumulasi pada account DPLK masing-masing diberikan (dihadiahkan) sebagai uang pisah yang seharusnya diterima oleh pekerja (vide pasal 18 ayat [1] PP No. 77 Tahun 1992 jo. pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 11 Tahun 1992 dan pasal 26 ayat (1) Kepmenkeu No.343/KMK.017/1998).


    Dengan demikian, dalam hal pekerja di-PHK oleh dan atas kehendak manajemen/pengusaha, ataukah di-PHK dengan alasan lainnya di mana pekerja berhak “pesangon”, maka berdasarkan pasal 167 ayat (2) UU No.13/2003, UP dan UPMK yang akan diterima terkait dengan PHK tersebut, dapat diperhitungkan (dikurangi) dengan jumlah “iuran pasti” atas manfaat pensiun pada account DPLK pekerja yang bersangkutan, kecuali telah diperjanjikan dan diatur lain oleh para pihak, termasuk pengaturan bilamana manfaat pensiun lebih besar dari pada hak “pesangon” yang timbul sebagai akibat PHK (pasal 167 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003).


    Demikian jawaban kami, semoga dapat dimengerti.



    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;

    2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    3. Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan;

    4. Keputusan Menteri Keuangan RI No.343/KMK.017/1998 tentang Iuran dan Manfaat Pensiun.

    ReplyDelete